Masjid Tertua di Indonesia
Masjid Tertua di Indonesia
BERKEMBANGNYA agama Islam di
Indonesia, khususnya di Jawa,
selama ini selalu dikaitkan
dengan kiprah Wali Songo yang
hidup antara abad ke-15 dan
ke-16 Masehi. Akan tetapi, keberadaan Masjid Saka Tunggal
di Desa Cikakak, Kecamatan
Wangon, Banyumas, Jawa Tengah,
menunjukkan bahwa Islam
sebenarnya berkembang jauh
sebelum periode sembilan wali itu. Masjid Saka Tunggal, yang
artinya hanya bertiang satu,
konon dibangun tahun 1288
Masehi. Menurut imam masjid
berarsitektur perpaduan Hindu-
Islam tersebut, tahun berdirinya Masjid Saka Tunggal dapat
diketahui dari angka yang
terpahat di salah satu sisi saka
tunggal, yakni 8821. Angka tarikh
tersebut dibaca terbalik sehingga
terbaca 1288 1.522 masehi. Masjid ini memang sudah sangat
tua. Usianya 720 tahun. imam
masjid yang sekarang adalah
yang ke-10, Pendiri masjid ini
adalah Mbah Mustolih. Tidak jelas
dari mana Mbah Mustolih berasal. Namun, warga sekitar masjid
meyakini bahwa dialah pendiri
masjid dan orang yang kali
pertama menyebarkan Islam di
Cikakak. Sampai saat ini silsilah
pasti tentang pendiri dan imam masjid ini belum ada, tetapi kisah
turun-temurun yang kami terima
seperti itu.
Jika benar Masjid Saka Tunggal
berdiri sejak tahun 1288, berarti
usia masjid tersebut lebih tua daripada riwayat Kerajaan
Majapahit yang mulai berdiri
tahun 1294 atau enam tahun
sesudah masjid berdiri. Dengan
kata lain, Masjid Saka Tunggal
mulai dibangun pada masa kekuasaan Kerajaan Singasari.
Terlepas kebenaran tahun
pendiriannya, hingga saat ini
Masjid Saka Tunggal belum
kehilangan sama sekali wajah
aslinya. Bedanya, gebyok kayu dan gedek bambu yang semula
menjadi dinding masjid ini telah
diganti dengan tembok. Salah satu
tampilan asli masjid ini yang
belum hilang adalah saka tunggal
di tengah-tengah bangunan masjid. Saka tunggal tersebut
dibuat dari galih kayu jati berukir
motif bunga warna-warni. Di
bagian pangkal berdiameter
sekitar 35 sentimeter. Saka ini
berdiri hingga di atas wuwungan yang berbentuk limas, seperti
wuwungan pada Masjid Agung
Demak. Salah satu keunikan Saka
Tunggal adalah keberadaan
empat helai sayap dari kayu di
tengah saka.empat sayap yang menempel di saka tersebut
melambangkan papat kiblat lima
pancer, atau empat mata angin
dan satu pusat. Papat kiblat lima
pancer berarti manusia sebagai
pancer dikelilingi empat mata angin yang melambangkan api,
angin, air, dan bumi.
Saka tunggal itu perlambang
bahwa orang hidup ini seperti alif,
harus lurus. Jangan bengkok,
jangan nakal, jangan berbohong. Kalau bengkok, maka bukan lagi
manusia.
Empat mata angin itu berarti
bahwa hidup manusia harus
seimbang. Jangan terlalu banyak
air bila tak ingin tenggelam, jangan banyak angin bila tak mau
masuk angin, jangan terlalu
bermain api bila tak mau
terbakar, dan jangan terlalu
memuja bumi bila tak ingin jatuh.
Hidup itu harus seimbang. Papat kiblat lima pancer ini sama
dengan empat nafsu yang ada
dalam manusia. Empat nafsu yang
dalam terminologi Islam-Jawa
sering dirinci dengan istilah
aluamah, mutmainah, sopiah, dan amarah. Empat nafsu yang selalu
bertarung dan memengaruhi
watak manusia. Keaslian lain
yang masih terpelihara di masjid
yang sejak tahun 1980 ditetapkan
sebagai cagar budaya Banyumas tersebut adalah ornamen di ruang
utama, khususnya di mimbar
khotbah dan imaman. Ada dua
ukiran di kayu yang bergambar
nyala sinar matahari yang mirip
lempeng mandala. Gambar seperti ini banyak ditemukan
pada bangunan-bangunan kuno
era Singasari dan Majapahit.
Kekhasan masjid ini yang masih
ada adalah atap dari ijuk kelapa
berwarna hitam. Atap seperti ini mengingatkan atap bangunan
pura zaman Majapahit atau
tempat ibadah umat Hindu di Bali.
Tempat wudu pun juga masih
bernuansa zaman awal didirikan
meskipun dindingnya sudah diganti dengan tembok.
Keunikan lain juga dapat ditemui
di sekitar masjid karena setiap
pengunjung yang datang, akan
disambut puluhan ekor kera-kera
di sekitar masjid tersebut sejak puluhan tahun lalu akibat
pepohonan di bukit Jojog Telu
mulai merangas
BERKEMBANGNYA agama Islam di
Indonesia, khususnya di Jawa,
selama ini selalu dikaitkan
dengan kiprah Wali Songo yang
hidup antara abad ke-15 dan
ke-16 Masehi. Akan tetapi, keberadaan Masjid Saka Tunggal
di Desa Cikakak, Kecamatan
Wangon, Banyumas, Jawa Tengah,
menunjukkan bahwa Islam
sebenarnya berkembang jauh
sebelum periode sembilan wali itu. Masjid Saka Tunggal, yang
artinya hanya bertiang satu,
konon dibangun tahun 1288
Masehi. Menurut imam masjid
berarsitektur perpaduan Hindu-
Islam tersebut, tahun berdirinya Masjid Saka Tunggal dapat
diketahui dari angka yang
terpahat di salah satu sisi saka
tunggal, yakni 8821. Angka tarikh
tersebut dibaca terbalik sehingga
terbaca 1288 1.522 masehi. Masjid ini memang sudah sangat
tua. Usianya 720 tahun. imam
masjid yang sekarang adalah
yang ke-10, Pendiri masjid ini
adalah Mbah Mustolih. Tidak jelas
dari mana Mbah Mustolih berasal. Namun, warga sekitar masjid
meyakini bahwa dialah pendiri
masjid dan orang yang kali
pertama menyebarkan Islam di
Cikakak. Sampai saat ini silsilah
pasti tentang pendiri dan imam masjid ini belum ada, tetapi kisah
turun-temurun yang kami terima
seperti itu.
Jika benar Masjid Saka Tunggal
berdiri sejak tahun 1288, berarti
usia masjid tersebut lebih tua daripada riwayat Kerajaan
Majapahit yang mulai berdiri
tahun 1294 atau enam tahun
sesudah masjid berdiri. Dengan
kata lain, Masjid Saka Tunggal
mulai dibangun pada masa kekuasaan Kerajaan Singasari.
Terlepas kebenaran tahun
pendiriannya, hingga saat ini
Masjid Saka Tunggal belum
kehilangan sama sekali wajah
aslinya. Bedanya, gebyok kayu dan gedek bambu yang semula
menjadi dinding masjid ini telah
diganti dengan tembok. Salah satu
tampilan asli masjid ini yang
belum hilang adalah saka tunggal
di tengah-tengah bangunan masjid. Saka tunggal tersebut
dibuat dari galih kayu jati berukir
motif bunga warna-warni. Di
bagian pangkal berdiameter
sekitar 35 sentimeter. Saka ini
berdiri hingga di atas wuwungan yang berbentuk limas, seperti
wuwungan pada Masjid Agung
Demak. Salah satu keunikan Saka
Tunggal adalah keberadaan
empat helai sayap dari kayu di
tengah saka.empat sayap yang menempel di saka tersebut
melambangkan papat kiblat lima
pancer, atau empat mata angin
dan satu pusat. Papat kiblat lima
pancer berarti manusia sebagai
pancer dikelilingi empat mata angin yang melambangkan api,
angin, air, dan bumi.
Saka tunggal itu perlambang
bahwa orang hidup ini seperti alif,
harus lurus. Jangan bengkok,
jangan nakal, jangan berbohong. Kalau bengkok, maka bukan lagi
manusia.
Empat mata angin itu berarti
bahwa hidup manusia harus
seimbang. Jangan terlalu banyak
air bila tak ingin tenggelam, jangan banyak angin bila tak mau
masuk angin, jangan terlalu
bermain api bila tak mau
terbakar, dan jangan terlalu
memuja bumi bila tak ingin jatuh.
Hidup itu harus seimbang. Papat kiblat lima pancer ini sama
dengan empat nafsu yang ada
dalam manusia. Empat nafsu yang
dalam terminologi Islam-Jawa
sering dirinci dengan istilah
aluamah, mutmainah, sopiah, dan amarah. Empat nafsu yang selalu
bertarung dan memengaruhi
watak manusia. Keaslian lain
yang masih terpelihara di masjid
yang sejak tahun 1980 ditetapkan
sebagai cagar budaya Banyumas tersebut adalah ornamen di ruang
utama, khususnya di mimbar
khotbah dan imaman. Ada dua
ukiran di kayu yang bergambar
nyala sinar matahari yang mirip
lempeng mandala. Gambar seperti ini banyak ditemukan
pada bangunan-bangunan kuno
era Singasari dan Majapahit.
Kekhasan masjid ini yang masih
ada adalah atap dari ijuk kelapa
berwarna hitam. Atap seperti ini mengingatkan atap bangunan
pura zaman Majapahit atau
tempat ibadah umat Hindu di Bali.
Tempat wudu pun juga masih
bernuansa zaman awal didirikan
meskipun dindingnya sudah diganti dengan tembok.
Keunikan lain juga dapat ditemui
di sekitar masjid karena setiap
pengunjung yang datang, akan
disambut puluhan ekor kera-kera
di sekitar masjid tersebut sejak puluhan tahun lalu akibat
pepohonan di bukit Jojog Telu
mulai merangas
0 komentar:
saya harap anda dapat berkomentar tentang postingan yan telah saya sampaikan terimakasih