SITUS GUNUNG PADANG BUKTI MAHAKARYA ARSITEKTUR PURBA DARI PERADABAN HILANG PRA-10.000 TAHUN LALU
Dalam bulan Maret tahun ini Tim Peneliti Mandiri
Terpadu kembali menggelar survey di Gunung Padang. Kali ini Tim
melakukan melakukan penggalian arkeologi dan survey geolistrik sangat detil DI
sekitar penggalian pada lereng timur bukit di luar pagar situs cagar budaya.
Tim arkeologi yang dipimpin oleh DR. Ali Akbar
dari Universitas Indonesia dalam penggaliannya menemukan bukti yang
mengkonfirmasi hipotesa tim bahwa di bawah tanah Gunung Padang terdapat
struktur bangunan buatan manusia yang terdiri dari susunan batu kolom andesit,
sama seperti struktur teras batu yang sudah tersingkap dan dijadikan situs
budaya di atas bukit. Terlihat di kotak gali bahwa permukaan fitur
susunan batu kolom andesit ini sekarang sudah tertimbun oleh lapisan tanah
setebal setengah sampai dua meter yang bercampur dengan bongkahan pecahan batu
kolom andesit (Gambar 1).
Batu-batu kolom andesit disusun dengan posisi
mendekati horisontal dengan arah memanjang hampir barat-timur (sekitar 70
derajat dari utara ke timur - N 70 E), sama dengan arah susunan batu kolom di
dinding timur-barat teras satu dan undak lereng terjal yang menghubungkan
teras satu dengan teras dua. Dari posisi horisontal batu-batu kolom
andesit dan arah lapisannya, dapat disimpulkan dengan pasti bahwa batu-batu
kolom atau “columnar joints” ini bukan dalam kondisi alamiah.
Batu-batu kolom yang merupakan hasil pendinginan dan pelapukan batuan
lava/intrusi vulkanis di alam arah memanjang kolomnya akan tegak lurus terhadap
arah lapisan atau aliran seperti banyak ditemukan dibanyak tempat di
dunia. Kenampakan susunan batu-kolom yang terkuak di kotak gali memang
terlihat luarbiasa rapih seperti layaknya kondisi alami saja (contoh di Gambar
3). Sehingga tidak heran apabila di penghujung tahun
2012 ada tim arkeolog lain yang bekerja terpisah dan sudah ikut menggali di
sini menyimpulkan bahwa batu-batu kolom andesit di bawah tanah ini merupakan
sumber batuan alamiahnya; mungkin karena mereka belum mempertimbangkan aspek
geologinya dengan lengkap dan juga tidak mengetahui data struktur bawah
permukaan seperti diperlihatkan oleh hasil survey geolistrik.
Yang lebih mengejutkan adalah ditemukannya
material pengisi diantara batu-batu kolom ini. Bahkan diantaranya ada
batu kolom yang sudah pecah berkeping-keping namun ditata dan disatukan lagi
oleh material pengisi atau kita katakan saja sebagai semen purba (Gambar
2). Makin ke bawah kotak gali, semen purba ini terlihat makin banyak dan
merata setebal 2 sentimeteran diantara batu-batu kolom. Selain di kotak
gali, semen purba ini juga sudah ditemukan pada tebing undak antara teras satu
dan dua dan juga pada sampel inti bor dari kedalaman 1 sampai 15 meter dari
pemboran yang dilakukan oleh tim pada tahun 2012 lalu di atas situs
(Gambar 4).
Ahli geologi tim dan juga pembina pusat Ikatan
Ahli Geologi Indonesia pusat, DR. Andang Bachtiar, berdasarkan hasil
analisis kimia yang dilakukannya terhadap sampel semen purba dari undak terjal
teras satu ke dua, menemukan fakta yang lebih mengejutkan lagi. Ternyata
material semen ini mempunyai komposisi utama 45% mineral besi dan 41% mineral
silika. Sisanya adalah 14% mineral lempung dan juga terdapat unsur
karbon. Ini adalah komposisi yang bagus untuk semen perekat yang
sangat kuat, barangkali menggabungkan antara konsep membuat resin atau perekat
modern dari bahan baku utama silika dan penggunaan konsentrasi unsur besi yang
menjadi penguat bata merah.
Tingginya kandungan silika mengindikasikan bahwa
semen ini bukan hasil pelapukan dari batuan kolom andesit disekelilingnya yang
miskin silika. Kemudian, kadar besi di alam, bahkan di batuan yang ada di
pertambangan mineral bijih sekalipun umumnya tidak lebih dari 5% kandungan
besinya, sehingga kadar besi “semen Gunung Padang” ini berlipat kali lebih
tinggi dari kondisi alamiah. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa
material yang ada diantara batu-batu kolom andesit ini adalah adonan semen
buatan manusia. Jadi teknologi masa itu kelihatannya sudah mengenal
metalurgi. Satu teknik yang umum untuk mendapatkan konsentrasi
tinggi besi adalah dengan melakukan proses pembakaran dari hancuran bebatuan
dengan suhu sangat tinggi. Mirip dengan pembuatan bata merah, yaitu
membakar lempung kaolinit dan illit untuk menghasilkan konsentrasi besi
tinggi pada bata tersebut, jelas Andang. Indikasi adanya teknologi
metalurgi purba ini lebih diperkuat lagi dengan temuan segumpal material
seperti logam sebesar 10 sentimeter oleh tim Ali Akbar pada kedalaman 1
meter di lereng timur Gunung Padang. Material logam berkarat ini mempunya
permukaan kasar berongga-rongga kecil dipermukaannya. Diduga
material ini adalah adonan logam sisa pembakaran (“slug”) yang masih bercampur
dengan material karbon yang menjadi bahan pembakarnya, bisa dari kayu, batu
bara atau lainnya. Rongga-rongga tersebut kemungkinan terjadi akibat
pelepasan gas CO2 ketika pembakaran.
Tim akan melakukan analisa lab lebih lanjut untuk
meneliti hal ini lebih jauh.
Yang tidak kalah mencengangkan adalah perkiraan
umur dari semen purba ini. Hasil analisis radiometrik dari kandungan
unsur karbonnya pada beberapa sampel semen di bor inti dari kedalaman 5 – 15
meter yang dilakukan pada tahun 2012 di Laboratorium bergengsi BETALAB,
Miami, USA pada pertengahan tahun 2012 menunjukan umur dengan kisaran antara
13.000 sampai 23.000 tahun lalu. Kemudian, hasil carbon dating dari
lapisan tanah yang menutupi susunan batu kolom andesit di kedalaman 3-4 meter
di Teras 5 menunjukan umur sekitar 8700 tahun lalu. Sebelumnya hasil
carbon dating yang dilakukan di laboratorium BATAN dari pasir dominan kuarsa
yang mengisi rongga diantara kolom-kolom andesit di kedalaman 8-10 meter di
bawah Teras lima juga menunjukkan kisaran umur yang sama yaitu sekitar 13.000
tahun lalu. Fakta yang sangat kontroversial karena pengetahuan
mainstream sekarang belum mengenal/mengakui ada peradaban (tinggi) pada masa
se-purba ini, dimanapun di dunia, apalagi di nusantara yang konon masa
pra-sejarahnya banyak diyakini masih primitif walaupun alamnya luarbiasa indah
dan kaya; sementara di wilayah tandus gurun pasir Mesir orang bisa membuat
bangunan piramida yang sangat luarbiasa itu. Tapi fakta di Gunung Padang
berbicara lain. Rasanya bukan mustahil lagi bangsa Nusantara mempunyai
peradaban yang semaju peradaban Mesir purba , bahkan pada masa yang jauh lebih
tua lagi.
Struktur bangunan dari susunan batu-batu kolom
berdiameter sampai 50 cm dengan panjang bisa lebih dari 1 meter ini sudah
sangat spektakuler karena bagaimanakah masyarakat purbakala dapat menyusun
batu-batu besar yang sangat berat ini demikian rapih dan disemen pula oleh
adonan material yang istimewa. Selanjutnya survey geolistrik yang
dilakukan di sekitar lokasi pengalian oleh tim geologi/geofisika dari LabEarth
LIPI, menguak fakta yang tidak kalah fantastis dari fitur bangunan purba di
bawah permukaan ini. Survey terbaru ini adalah survey pendetilan
sebagai lanjutan dari puluhan lintasan survey geolistrik 2-D, 3-D dan survey
georadar yang sudah dilakukan pada tahun 2011, 2012 dan awal 2013 di sekujur
badan Gunung Padang dari kaki sampai puncak bukit. Hasil
survey geolistrik memperlihatkan bahwa lapisan susunan batu kolom yang terlihat
di kotak gali keberadaannya dapat diikuti terus sampai ke atas bersatu di bawah
badan situs Gunung Padang di atas bukit, dan juga melebar sampai jauh ke kaki
bukit (Gambar 5).
Fakta ini mendukung hasil penelitian ahli
arsitektur Pon Purajatniko, anggauta tim terpadu yang juga pernah
menjabat Ketua Ikatan Ahli Arsitektur Jawa Barat, yang pertama kali melontarkan
gagasan tentang struktur teras-teras Gunung Padang mirip situs Michu
Pichu di Peru.
Sampai saat ini penggalian dilakukan baru sampai
kedalaman 4 meteran saja, namun survey geolistrik memperlihatkan bahwa
dibawahnya masih ada kenampakan struktur bangunan dengan geometri yang terlihat
menakjubkan sampai kedalaman lebih dari 10 meter. Hasil survey
geolistrik, dan georadar juga sudah dapat memperlihatkan bahwa struktur
(geologi) bawah permukaan yang membentuk morfologi bukit Gunung Padang adalah
lapisan batuan dengan ketebalan 30-50 meter yang mempunyai nilai tahanan
listrik (resistivitas) sangat tinggi (ribuan Ohm-Meter) berbentuk seperti lidah
dengan posisi hampir horisontal, selaras dengan bukit memanjang utara-selatan
dan miring landai ke arah utara. Jadi selaras juga dengan undak-undak
teras yang dibangun di atasnya. Lapisan batu berbentuk seperli lidah
ini juga mempunyai bidang miring yang rata ke arah barat dan timur bukit
selaras dengan kemiringan lerengnya. Lapisan lava ini berada pada
kedalaman lebih dari 10 meter di bawah permukaan.
Dari data pemboran yang dilakukan oleh DR. Andang
Bachtiar dan juga analisis mikroskopik batuan dari sampel inti bor yang
dilakukan oleh DR. Andri Subandrio, ahli geologi batuan gunung api dari Lab.
Petrologi ITB dapat dipastikan bahwa tubuh batuan dengan resistivitas tinggi
ini adalah batuan lava andesit, sama seperti tipe batu kolom dari situs Gunung
Padang. Hal lain yang cukup menarik dari analisa petrologi adalah temuan
banyaknya retakan-retakan mikroskopik pada sayatan tipis batu kolom andesit
yang diduga non-alamiah karena retakan itu memotong kristal-kristal mineral
penyusunnya.
Dari banyak penampang geolistrik, terlihat Lidah
lava andesit ini mempunyai leher intrusi (sumber terobosan batuan vulkanis dari
bawah) berlokasi di area lereng selatan dari situs Gunung Padang, jadi setelah
cairan panas intrusi magma mencapai permukaan kemudian mengalir ke utara dan
setelah mendingin membentuk lidah lava tersebut. Yang masih menjadi
teka-teki besar adalah apakah tubuh batuan lava diperut Gunung Padang ini
merupakan sumber dari batu-batu kolom andesit yang dipakai untuk menyusun
situs? Boleh jadi benar, karena sampai saat ini tidak ditemukan ada
sumber batuan kolom andesit dalam radius beberapa kilometer dari Gunung
Padang.
Masalahnya tidak ada bekas-bekas penambangan atau
lapisan lava yang tersingkap di area Gunung Padang. Jadi, apabila orang
berhipotesa bahwa sumber batuannya dari dalam bukit, maka mau tidak mau harus
juga mengasumsikan bahwa dulunya lapisan lava tersebut pernah tersingkap atau
ditambang oleh manusia purba, kemudian baru batu-batu kolom yang sudah diambil
tersebut disusun-ulang kembali untuk menutupi sekujur badan lava menjadi satu
mahakarya monumen arsitektur besar yang luarbiasa. Perlu juga dicatat
bahwa mengekstraksi batu-batu kolom andesit dari batuan induknya bukanlah hal
yang mudah karena harus dapat memisahkan batu-batu besar dan berat tersebut
dengan utuh dari batuan induknya dalam jumlah yang sangat besar. Berbeda
dengan penambangan batuan biasa yang tidak perlu kuatir dengan batu yang pecah,
misalnya dengan peledakan dinamit. Yang jelas untuk abad sekarang atau
ratusan tahun kebelakang didunia ini tidak pernah ada penambangan batu-batu
kolom andesit untuk dipakai sebagai bata bangunan.
Penelitian di Gunung Padang belum selesai.
Tim Mandiri Terpadu , walaupun tanpa dibantu dana negara, akan terus bekerja
keras meneliti banyak misteri besar yang masih belum terkuak. Termasuk
melakukan pemboran atau eskavasi dalam untuk membuktikan dengan lebih gamblang
keberadaan struktur bangunan dan ruang-ruang di bawah kedalaman 4-5
meter. Demikian juga pentarikhan umur situs walaupun sudah dilakukan
dengan teliti dan hati-hati masih perlu dicek ulang dengan sampel-sampel yang
lebih baik lagi, karena umur ini hal yang sangat vital untuk kesimpulan akhirnya
nanti. Tim juga menduga bahwa situs Gunung Padang kemungkinan besar tidak
dibangun dalam satu masa, tapi produk lebih dari satu lapis kebudaayaan.
Misalnya, yang membuat batu-batu kolom menjadi menhir-menhir belum tentu sama
dengan masyarakat yang membuat susunan batu-batu kolom dengan semen
purba. Demikian juga bangunan susunan batu kolom andesit di permukaan
atau yang sudah tertimbun beberapa meter di bawah belum tentu dibangun satu
masa dengan struktur bangunan di bawahnya lagi.
Penelitian ala Tim Mandiri Terpadu memperlihatkan
bahwa bahu membahu yang erat dari berbagai disiplin ilmu dengan metoda
penelitian yang saling mengisi sangat diperlukan untuk menguak warisan
kebudayaan nusantara. Masalah Gunung Padang tidak bisa lagi disampingkan.
Walaupun masih banyak pertanyaan yang belum terjawab dan analisa yang belum
tuntas, hasil-hasil penelitian yang sudah dicapai sudah memberikan banyak
informasi penting dan harapan bahwa situs Gunung Padang berpotensi untuk setara
dengan Borobudur, bahkan lebih bermakna karena dapat menjadi terobosan
pengetahuan tentang “the craddle of civilizations” pada abad ini karena menjadi
bukti monumen besar dari peradaban adijaya tertua di dunia yang entah karena
bencana apa musnah ribuan tahun lalu dalam masa pra-sejarah Indonesia.
Wallahua alam.
Danny H. Natawidjaja (Koordinator) dan Tim
Peneliti Mandiri Terpadu G.Padang
0 komentar:
saya harap anda dapat berkomentar tentang postingan yan telah saya sampaikan terimakasih