NASIB PETANI LEBIH MENYEDIHKAN DARIPADA BURUH --

2:01:00 PM Unknown 0 Comments


 (Kompasiana) Rakyat Indonesia yang menggantungkan hidupnya menjadi petani sekitar 30 juta orang. Nilai saing hasil produk pertanian Indonesia semakin terpuruk. Apalagi dengan masuknya produk hasil pertanian impor. Yang semakin menyedihkan, sebenarnya ketika panen, hasil panen berlimpah. Tetapi pengolahan pasca panen tidak memadai. Sehingga 40% hasil pertanian, musnah membusuk, menjadi mubazir. Bayangkan, 40%! Itu karena ketidakmampuan kementan dalam menyediakan teknologi tepat-guna sederhana di level petani!

Dan nasib petani akan semakin terpuruk ketika Indonesia memasuki pasar bebas ASEAN di tahun 2015. Ketika negara-negara ASEAN akan membarrier produk pertanian Indonesia masuk ke negaranya karena alasan keamanan, maka disini lagi-lagi kementan keteteran dalam menyediakan sistem di pintu masuk impor untuk masalah keamanan pangan segar.

Berdasarkan UU Pangan, otoritas keamanan pangan segar ada di tangan kementan. Bukan di tangan Kemenkes ataupun BPOM, yang otoritasnya mengawasi pangan kemasan, obat dan kosmetika. Selama ini, jika kementan menahan laju impor dengan alasan quota, mesti akan disemprit oleh WTO. Dan merepotkan memberi argumen jika terjadi gugatan internasional. Maklum, Indonesia kan good boy di WTO, hehee.

Tetapi jika dengan alasan keamanan pangan, mekanisme ini dipakai oleh negara-negara maju untuk membarrier produk impor negara lain (terutama negara berkembang). Inilah yang menjadi masalah di Indonesia. Karena sistem pengawasan keamanan pangan di pintu masuk impornya lemah atau bahkan tidak ada. Dan itu otoritas kementan!

Bahkan kemarin, saya baru tahu, selama ini pangan segar berpengawet nuklir (pangan iradiasi) pun sudah banyak masuk ke Indonesia (dari AS), tetapi disini malah belum ada standar nasional indonesianya (SNI).

Jika belum ada standar, maka pangan itu masuk seperti air bah, dan tidak ada mekanisme penahannya. Makanya, buah impor bisa berharga sangat murah, karena standar keamanan pangannya memang tidak ada, alias pangan ’sampah’ yang masuk ke sini. Tidak ada tuntutan dan pemeriksaan standar keamanan pangan di pintu masuk impor. Jadi berhati-hatilah dengan buah, sayur impor. Keamanan pangannya sangat diragukan.

Dengan tidak adanya mekanisme menahan laju impor, dipastikan nasib petani akan semakin terpuruk. Tetapi apa yang sudah dilakukan oleh kementan? Subsidi pertanian Rp 147 T, lebih banyak ke pengusaha pupuk dan benih. Tidak ada subsidi langsung ke petani. Apalagi untuk petani organik, murni pupuk, benih dan pestisidanya hasil dari bikinan sendiri, tanpa subsidi sedikitpun dari pemerintah.

Bahkan di acara ini, petani pun mengungkapkan unek-uneknya, karena untuk kredit usaha rakyat (KUR) tidak dapat diakses petani. Ada ratusan trilyun uang tersimpan di BI, tetapi tidak dapat diakses petani karena dianggap resiko bertani terlalu besar. Apalagi petani dianggap tidak bisa hitung-hitungan keuangan.

Jadi, jika buruh masih bisa diperhitungkan dan mendapat gaji tetap setiap bulan, maka nasib petani yang berjumlah 30 juta ini akan semakin tersisih. Masih ada hari buruh nasional, dan diperingati dengan libur pula, tetapi apakah ada hari petani nasional dan kepedulian pemerintah secara nyata terhadap nasib petani?


Ya sudah, Salam Kompasiana!

0 komentar:

saya harap anda dapat berkomentar tentang postingan yan telah saya sampaikan terimakasih